Pasangan ganda campuran Indonesia, Tontowi Ahmad (kanan)/Liliyana Natsir, mengembalikan bola saat menghadapi pasangan Thailand, Sudket Prapakamol/Saralee Thoungthongkam, pada babak final turnamen bulu tangkis Djarum Indonesia Open Superseries Premier di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (17/6). Sudket Prapakamol/Saralee Thoungthongkam menjadi juara setelah menang 21-17, 17-21, 21-13.
oleh Gatot Widakdo
Setelah gagal menjuarai turnamen Djarum Indonesia Open 2012 Super Series Premiers di Jakarta, pasangan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir membatalkan keiikutsertaan mereka tampil di Super Series Singapura Terbuka, pekan ini.
Pelatih ganda campuran Richard Mainaky, menilai, fokus persiapan ke olimpiade lebih penting daripada bertanding lagi di Singapura, untuk mempertahankan gelar.
Keputusan ini wajar dan masuk akal, mengingat final ganda campuran Djarum Indonesia Open 2012 Super Series Premier di stadion Istora Senayan, Jakarta, hari Minggu (17/6/2012) lalu telah memberi sindiran pedas kepada pemain putri Indonesia, Liliyana Natsir.
Dalam pertarungan memperebutkan gelar, gadis tomboi yang sejak kecil disapa Butet oleh para seniornya di klub Tangkas Specs itu, terbentur tembok Thailand, Saralee Thoungthongkham, gadis kurus berambut pendek yang sama sekali tak diperhitungkan.
Dalam tujuh tahun terakhir ini, Butet menjelma menjadi putri yang disegani di ganda campuran. Mungkin nanti dia bakal dikenang sebagaimana pemain berwibawa lainnya, seperti Minarti Timur atau Ra Kyung-min dari Korsel.
Merekalah putri yang berkarisma, punya keberanian berduel dengan musuhnya yang putra sekalipun, kepercayaan diri segunung untuk mendikte alur permainan, tangguh untuk melepaskan diri dari tekanan, juga ambisi yang tak kunjung padam untuk memenangi laga.
Namun, Minggu malam, justru Saralee yang mencuri predikat itu. Dia kokoh di depan net. Segala bola pancingan atau terobosan dia cegat dengan cepat. Gedoran Tontowi Ahmad (tandem Butet) dia balas dengan pukulan keras.
Inisiatif permainan pun berpihak kepada duet Thailand, Sudket Prapakamol/Saralee. Tontowi/Butet yang hanya bisa menguntit perolehan poin akhirnya menyerah 21-17, 17-21, 21-13.
"Permainan kami sudah bisa dibaca. Kami juga tak mampu melepaskan diri dari tekanan mereka," kata Butet, mengevaluasi kekalahannya.
Bagi Butet, juara dunia dua kali -2005 dan 2007- dan peraih medali perak Olimpiade 2008, yang dia raih adalah "bencana". Butet/Tontowi lah yang saat itu difavoritkan jadi pemenang, harus mengakui Saralee lebih baik malam itu.
Sudket/Saralee sekaligus menjadi simbol menjamurnya para penjegal di bulu tangkis dunia saat ini. Keduanya maju ke final, dengan mengalahkan pasangan unggulan dari China Zhang Nan/Zhaou Yunlei dan pasangan Korea Selatan Ko Sung Hyun/Eom Hye Won.
Di tunggal putri, Sung Ji Hyun dari Korea Selatan yang dipandang sebelah mata, mendepak salah satu pilar China, Wang Xin, di putaran ketiga.
Bahkan, Dominasi marga Wang semakin rontok, dengan tumbangnya Wang Shixian di tangan pemain India, Saina Nehwal. Saina sendiri akhirnya menjadi pemuncak setelah di final menaklukkan jagoan China lainnya, Li Xuerui 13-21, 22-20, 21-19.
Namun, Indonesia juga punya kejutan manis dengan tampilnya Simon Santoso sebagai juara di tunggal putra. Pada laga partai final, Simon sudah menunjukkan kematangan teknik permainan, dan kekuatan mentalnya menghadapi tekanan.
Tampil di hadapan ribuan suporter Indonesia yang meriuhkan gedung Istora, Simon benar-benar diuji kesabarannya menghadapi Du Pengyu, yang bermain gigih dalam bertahan dan ngotot dalam menyerang.
Berkali-kali dia harus pontang-panting mengejar kok. Beruntung daya tahan (endurance) Simon tidak keburu habis.
Atas hasil itu, Simon wajar berbangga dan bersukacita. Namun, dia tidak boleh puas diri karena perjuangan di Djarum Indonesia Open 2012, belum merepresentasikan persaingan sesungguhnya di olimpiade.
Tidak tampilnya dua pemuncak dunia Lee Chong Wei dan Lin Dan menjadi catatan. Selain itu, dua jagoan China lain, Chen Long dan Chen Jin, juga tidak menunjukkan keseriusan mereka, sehingga kalah di babak awal.
Gelar yang diraih Simon pun tetap saja tidak mampu menutupi kekekhawatiran peluang Indonesia di Olimpiade London, bulan Juli-Agustus mendatang.
Pemain lain yang diandalkan, yakni pasangan Bona Septano/Mohammad Ahsan, langsung kandas di babak pertama dari pemain kualifikasi dari Malaysia. Bona/Ahsan juga masih kurang dalam variasi taktik di lapangan dan kerapian permainan.
Penampilan Bona/Ahsan bahkan kalah greget dibanding pemain muda pelatnas lainnya, seperti pasangan Gideoan Markus Fernaldi/Agripinna Prima Rahmanto Putra.
-Meski kalah di babak kedua dari unggulan dua asal Korea Selatan Lee Yong Dae/Jung Jae Sung, yang akhirnya menjadi juara, mereka bisa menunjukkan ciri permainan ganda putra Indonesia. Reli pukulan drive cepat dan rata dilakukan tak putus.
Mungkin kita akan kembali melihat Chandra Wijaya, Tony Gunawan, Sigit Budiarto, atau Rexy Mainaky dalam diri mereka.
"Saya sudah melihat ada trade mark dalam permainan mereka," tutur Christian Hadinata, pelatih kepala sektor ganda putra pelatnas Cipayung.
Menuju Wembley
Semua pelajaran di Istora tersebut menjadi satu langkah untuk mencapai tujuan di Wembley Arena Juli-Agustus nanti, dalam Olimpiade 2012 London.
Di ganda campuran, Butet/Tontowi adalah satu kartu as Indonesia. Baru dua tahun bersanding, mereka melesat di peringkat tiga dunia, memenangi beberapa turnamen bergengsi.
Tahun ini, Tontowi/Butet sebenarnya sudah membuat kebanggan besar, setelah menjuarai turnamen bergengsi All England 2012.
Hanya saja, seperti diamini Christian, rentang waktu sebulan ini harus menjadi kesempatan buat Tontowi mengevaluasi permainan mereka, terutama Butet, untuk meningkatkan wibawanya di lapangan, tak terperangah jika bertemu lawan yang menantang dominasinya.
"Ini pelajaran bagus. Di olimpiade, tekanan buat ganda favorit jauh lebih besar. Terutama Butet, semua harus berawal dari dia," kata Christian.
Jika Butet gagal menciptakan alur permainan, mengubah taktik untuk melepaskan diri dari tekanan, Tontowi si tukang gebuk bakal tak bisa berkutik. Harapan Indonesia lainnya, mungkin datang dari tunggal putra.
Keberhasilan Simon menjadi juara di Indonesia Open menjadi modal bagus, memupuk motivasi dan kepercayaan dirinya.
Kini, saatnya PB PBSI berangkulan, menyusun kesepakatan bersama untuk meraih emas olimpiade. Bagaimanapun Wembley Arena tetap menjadi stadion keramat nun jauh di sana.
Dari sanalah, Indonesia tertawa bangga saat Rudy Hartono dan Liem Swie King mengukir rekor di All England. Di Wembley pula ditentukan, apakah tradisi emas di olimpiade akan lestari atau tidak.
Pelatih ganda campuran Richard Mainaky, menilai, fokus persiapan ke olimpiade lebih penting daripada bertanding lagi di Singapura, untuk mempertahankan gelar.
Keputusan ini wajar dan masuk akal, mengingat final ganda campuran Djarum Indonesia Open 2012 Super Series Premier di stadion Istora Senayan, Jakarta, hari Minggu (17/6/2012) lalu telah memberi sindiran pedas kepada pemain putri Indonesia, Liliyana Natsir.
Dalam pertarungan memperebutkan gelar, gadis tomboi yang sejak kecil disapa Butet oleh para seniornya di klub Tangkas Specs itu, terbentur tembok Thailand, Saralee Thoungthongkham, gadis kurus berambut pendek yang sama sekali tak diperhitungkan.
Dalam tujuh tahun terakhir ini, Butet menjelma menjadi putri yang disegani di ganda campuran. Mungkin nanti dia bakal dikenang sebagaimana pemain berwibawa lainnya, seperti Minarti Timur atau Ra Kyung-min dari Korsel.
Merekalah putri yang berkarisma, punya keberanian berduel dengan musuhnya yang putra sekalipun, kepercayaan diri segunung untuk mendikte alur permainan, tangguh untuk melepaskan diri dari tekanan, juga ambisi yang tak kunjung padam untuk memenangi laga.
Namun, Minggu malam, justru Saralee yang mencuri predikat itu. Dia kokoh di depan net. Segala bola pancingan atau terobosan dia cegat dengan cepat. Gedoran Tontowi Ahmad (tandem Butet) dia balas dengan pukulan keras.
Inisiatif permainan pun berpihak kepada duet Thailand, Sudket Prapakamol/Saralee. Tontowi/Butet yang hanya bisa menguntit perolehan poin akhirnya menyerah 21-17, 17-21, 21-13.
"Permainan kami sudah bisa dibaca. Kami juga tak mampu melepaskan diri dari tekanan mereka," kata Butet, mengevaluasi kekalahannya.
Bagi Butet, juara dunia dua kali -2005 dan 2007- dan peraih medali perak Olimpiade 2008, yang dia raih adalah "bencana". Butet/Tontowi lah yang saat itu difavoritkan jadi pemenang, harus mengakui Saralee lebih baik malam itu.
Sudket/Saralee sekaligus menjadi simbol menjamurnya para penjegal di bulu tangkis dunia saat ini. Keduanya maju ke final, dengan mengalahkan pasangan unggulan dari China Zhang Nan/Zhaou Yunlei dan pasangan Korea Selatan Ko Sung Hyun/Eom Hye Won.
Di tunggal putri, Sung Ji Hyun dari Korea Selatan yang dipandang sebelah mata, mendepak salah satu pilar China, Wang Xin, di putaran ketiga.
Bahkan, Dominasi marga Wang semakin rontok, dengan tumbangnya Wang Shixian di tangan pemain India, Saina Nehwal. Saina sendiri akhirnya menjadi pemuncak setelah di final menaklukkan jagoan China lainnya, Li Xuerui 13-21, 22-20, 21-19.
Namun, Indonesia juga punya kejutan manis dengan tampilnya Simon Santoso sebagai juara di tunggal putra. Pada laga partai final, Simon sudah menunjukkan kematangan teknik permainan, dan kekuatan mentalnya menghadapi tekanan.
Tampil di hadapan ribuan suporter Indonesia yang meriuhkan gedung Istora, Simon benar-benar diuji kesabarannya menghadapi Du Pengyu, yang bermain gigih dalam bertahan dan ngotot dalam menyerang.
Berkali-kali dia harus pontang-panting mengejar kok. Beruntung daya tahan (endurance) Simon tidak keburu habis.
Atas hasil itu, Simon wajar berbangga dan bersukacita. Namun, dia tidak boleh puas diri karena perjuangan di Djarum Indonesia Open 2012, belum merepresentasikan persaingan sesungguhnya di olimpiade.
Tidak tampilnya dua pemuncak dunia Lee Chong Wei dan Lin Dan menjadi catatan. Selain itu, dua jagoan China lain, Chen Long dan Chen Jin, juga tidak menunjukkan keseriusan mereka, sehingga kalah di babak awal.
Gelar yang diraih Simon pun tetap saja tidak mampu menutupi kekekhawatiran peluang Indonesia di Olimpiade London, bulan Juli-Agustus mendatang.
Pemain lain yang diandalkan, yakni pasangan Bona Septano/Mohammad Ahsan, langsung kandas di babak pertama dari pemain kualifikasi dari Malaysia. Bona/Ahsan juga masih kurang dalam variasi taktik di lapangan dan kerapian permainan.
Penampilan Bona/Ahsan bahkan kalah greget dibanding pemain muda pelatnas lainnya, seperti pasangan Gideoan Markus Fernaldi/Agripinna Prima Rahmanto Putra.
-Meski kalah di babak kedua dari unggulan dua asal Korea Selatan Lee Yong Dae/Jung Jae Sung, yang akhirnya menjadi juara, mereka bisa menunjukkan ciri permainan ganda putra Indonesia. Reli pukulan drive cepat dan rata dilakukan tak putus.
Mungkin kita akan kembali melihat Chandra Wijaya, Tony Gunawan, Sigit Budiarto, atau Rexy Mainaky dalam diri mereka.
"Saya sudah melihat ada trade mark dalam permainan mereka," tutur Christian Hadinata, pelatih kepala sektor ganda putra pelatnas Cipayung.
Menuju Wembley
Semua pelajaran di Istora tersebut menjadi satu langkah untuk mencapai tujuan di Wembley Arena Juli-Agustus nanti, dalam Olimpiade 2012 London.
Di ganda campuran, Butet/Tontowi adalah satu kartu as Indonesia. Baru dua tahun bersanding, mereka melesat di peringkat tiga dunia, memenangi beberapa turnamen bergengsi.
Tahun ini, Tontowi/Butet sebenarnya sudah membuat kebanggan besar, setelah menjuarai turnamen bergengsi All England 2012.
Hanya saja, seperti diamini Christian, rentang waktu sebulan ini harus menjadi kesempatan buat Tontowi mengevaluasi permainan mereka, terutama Butet, untuk meningkatkan wibawanya di lapangan, tak terperangah jika bertemu lawan yang menantang dominasinya.
"Ini pelajaran bagus. Di olimpiade, tekanan buat ganda favorit jauh lebih besar. Terutama Butet, semua harus berawal dari dia," kata Christian.
Jika Butet gagal menciptakan alur permainan, mengubah taktik untuk melepaskan diri dari tekanan, Tontowi si tukang gebuk bakal tak bisa berkutik. Harapan Indonesia lainnya, mungkin datang dari tunggal putra.
Keberhasilan Simon menjadi juara di Indonesia Open menjadi modal bagus, memupuk motivasi dan kepercayaan dirinya.
Kini, saatnya PB PBSI berangkulan, menyusun kesepakatan bersama untuk meraih emas olimpiade. Bagaimanapun Wembley Arena tetap menjadi stadion keramat nun jauh di sana.
Dari sanalah, Indonesia tertawa bangga saat Rudy Hartono dan Liem Swie King mengukir rekor di All England. Di Wembley pula ditentukan, apakah tradisi emas di olimpiade akan lestari atau tidak.
0 komentar:
Posting Komentar
Para Otodidaker's bisa berkomentar seperti saran, kritik, atau kamu ingin menambahkan juga bisa, dan segala tindakan SPAM akan dihapus seperti:
--> Kata kotor
--> Menyinggung
--> Mengumpat atau mengandung SARA